Oleh: Norman Abdillah
Apa yang ada di benak kawan-kawan
setelah membaca judul tulisan di atas? Mungkin akan datang beragam respon
terhadap judul opini di atas. Mulai dari yang super apatis sampai dengan yang
bergelora membahas judul di atas. Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat
hari tani yang jatuh pada tanggal 24 september serta mengungkapkan rasa terima
kasih kepada petani karena sampai detik ini, hingga hari ini dan hari-hari
mendatang mereka tetap bekerja untuk menyediakan pangan bagi seluruh rakyat
bangsa ini.
Petani sebagai inspirator Kemerdekaan
dan Kemanusiaan
Semua orang sepakat bahwa tanah
Indonesia adalah tanah yang subur, sampai-sampai ada semboyan jika kita
melempar tongkat, kayu dan batu bisa tumbuh menjadi tanaman. Dengan potensi
tersebut sudah menjadi khalayak bahwa banyak masyarakat yang berprofesi sebagai
petani. Imperialisme mencoba untuk merampas harta tersebut. Dimana pada saat
penjajahan terhadap bangsa Indonesia tidak ada aktivitas kemanusiaan yang
dilakukan para kolonial, yang ada hanyalah perilaku dehumanisasi terhadap kaum
tani.
Perang Diponegoro (1825-1830) yang
disebut The Djawa War atau Perang Jawa yang membuat Belanda hampir bangkrut, sangat
didukung petani Jawa yang militan. Sekitar 200 ribu rakyat tani mati dalam
perang besar ini. Menurut Sejarawan Indonesia Prof Dr Sartono Kartodirdjo
(1984) menulis tentang Pemberontakan Petani Banten 1888, yang merupakan
kebangkitan kaum tani melawan tirani kekuasaan. Meski sporadis dan bersifat
lokal, perlawanan petani dilakukan lewat berbagai cara, seperti membakar
perkebunan tebu, dan lain-lain.
Siapa yang menyangka bahwa petanilah
yang membuat presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno untuk memperjuangkan
Kemerdekaan Indonesia. Dalam buku Sukarno, A Political Biography (1972) John D.
Legge menuturkan dialog sukarno dengan seorang petani yaitu marhaen. Saat bung
karno sedang berjalan-jalan keluar kota daerah Cigareleng, Bandung. Bung Karno
bertanya tentang tanah, alat produksi, dan hasil panen. Apakah hasil panen ini
cukup untuk keperluan kamu?” Marhaen menjawab, ”Hasilnya pas-pasan untuk hidup
kami?”. Bung Karno melihat bahwa Marhaen hidup dalam kemiskinan,
ketidakberdayaan dan keterbelakangan. Biang keladinya adalah imperalisme yang
mengisap hajat hidup rakyat. Pada saat itu VOC sebagai persekutuan dagang
Belanda sedemikian berkuasa atas seluruh kekayaan hasil bumi Indonesia.
Kemudian Aksi gerilya Jenderal
Soedirman pada agresi Belanda II, 19 Desember 1948-10 Juli 1949, didukung pula
oleh petani. Tentara kita melakukan gerilya. Pejuang dan tentara yang hidup di
hutan, membaur dengan rakyat untuk melakukan perlawanan. Sekali lagi, petani di
pedesaan menjadi mitra pejuang. Petani menyediakan pangan dan memberikan
makanan, menjadi informan, kurir dan ikut berjuang bahu-membahu dengan tentara.
Ekspose realitas yang dijelaskan di
atas menjadi refleksi bahwa petanilah yang menjadi inspirator bagi pemimpin
pada waktu itu, yang terus bergerak mewujudkan kemerdekaan. Petani menjadi
rekan dan berjuang bersama-sama untuk mengambil kembal hak-hak yang telah
dirampas oleh kolonialisme. Sampai pada akhirnya bangsa Indonesia mencapai
cita-cita mulia yaitu memproklamasikan kemerdekaannya. Bagaimana keadaan petani
saat ini?
Profesi yang terlupakan
Sekarang profesi petani masih belum
berubah, seperti marhaen, petani tetap miskin dan terjajah. Jika ditanya kepada
generasi muda bangsa yaitu anak-anak dan pemuda yang sedang duduk di bangku
sekolah tentang cita-citanya kelak, dapat di pastikan bahwa hampir seluruhnya
tidak menjawab cita-cita mereka kelak akan menjadi seorang petani. Kebanyakan
yang keluar dari mulut mereka adalah mereka ingin menjadi pilot, dokter, guru,
direktur, dan sebagainya. Cita-cita menjadi petani sudah jarang tercetus dari
generasi muda kontemporer. Serendah itukah profesi petani kini? Padahal untuk
memenuhi kebutuhan hidup khalayak banyak orang kita sangat membutuhkan profesi
petani sebagai penyuplai basic needs. Bila
demikian seharusnya petani menjadi profesi yang amat mulia karena menjadi
sebuah profesi yang memenuhi kebutuhan dasar setiap orang.
Pada saat ini sangat di sayangkan
profesi petani menjadi pilihan terakhir dalam mata pencaharian, saat tidak ada
pekerjaan yang diperoleh oleh pencari kerja, mata pencaharian petanilah
alternatif terakhir. Realita ini muncul karena stigma yang tertanam dalam
profesi petani sebagai profesi untuk orang miskin, dan orang yang telah tua.
Stigma tersebut semakin memburuk oleh
pandangan yang tercipta dalam masyarakat itu sendiri, terdapat sebuah kasus
nyata ketika terdapat seorang sarjana yang lulus kemudian kembali lagi ke
desanya dan ia menjadi petani, ia mendapatkan celoteh dari warga rumahnya
sendiri “buat apa tinggi-tinggi sekolah, ujung-ujungnya menjadi petani” dan
Kasus selanjutnya yaitu seorang anak yang ingin menjadi petani ketika ditanya
seorang guru, maka anak itu akan di olok-olok “ngapain sekolah kalo
cita-citanya petani”. Hal tersebut menggambarkan sebuah pandangan masyarakat
terhadap profesi petani yang masih dianggap tidak membutuhkan pengetahuan dalam
bertani.
Rendahnya minat anak-anak dan pemuda bercita-cita menjadi
petani dipengaruhi oleh stigma yang tertanam terhadap petani yang selalu hidup miskin
dan jauh dari kata sejahtera. Petani di Indonesia tidak menggambarkan ekonomi
yang baik dan profesi sebagai petani dianggap belum menjanjikan. selain itu,
profesi petani selalu dikonotasikan sebagai suatu profesi yang tidak
membutuhkan pendidikan. Rendahnya profesi petani semakin ditambah dengan ulah
pemerintah dengan iklan “Bapaknya petani, anaknya bisa menjadi pilot”. Iklan
tersebut sudah jelas-jelas mendiskriminasi profesi petani.
Sudah saatnya pemerintah
merekonsiliasi profesi petani. Seharusnya pemerintah merancang usaha tani agar
tidak terdiskriminasi secara pandangan yang teraktual dalam ekonomi. Petani
saat ini sangat menyedihkan, jangan sampai kesedihan tersebut tertular ke
anak-cucu bangsa Indonesia kelak. Bila profesi petani menjadi tulang punggung
bangsa dan profesi yang mulia maka, bangsa ini akan mandiri memenuhi kebutuhan
penghuninya sendiri, tidak lagi membutuhkan beras impor dan daging impor.
Petani masih terjajah di tanahnya sendiri. Jangan sampai generasi muda menjadi
generasi “Alzheimer” tentang profesi petani yang menjadi tulang punggung
kehidupan dan inspirator kemerdekaan dan kemanusiaan.
0 comments:
Posting Komentar