Subscribe:

Ads 468x60px

Beranda

Selasa, 01 Oktober 2013

Generasi “Azheimer”: Generasi yang Mulai Melupakan Petani Menjadi Cita-cita

Oleh: Norman Abdillah

Apa yang ada di benak kawan-kawan setelah membaca judul tulisan di atas? Mungkin akan datang beragam respon terhadap judul opini di atas. Mulai dari yang super apatis sampai dengan yang bergelora membahas judul di atas. Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat hari tani yang jatuh pada tanggal 24 september serta mengungkapkan rasa terima kasih kepada petani karena sampai detik ini, hingga hari ini dan hari-hari mendatang mereka tetap bekerja untuk menyediakan pangan bagi seluruh rakyat bangsa ini.
Petani sebagai inspirator Kemerdekaan dan Kemanusiaan
Semua orang sepakat bahwa tanah Indonesia adalah tanah yang subur, sampai-sampai ada semboyan jika kita melempar tongkat, kayu dan batu bisa tumbuh menjadi tanaman. Dengan potensi tersebut sudah menjadi khalayak bahwa banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Imperialisme mencoba untuk merampas harta tersebut. Dimana pada saat penjajahan terhadap bangsa Indonesia tidak ada aktivitas kemanusiaan yang dilakukan para kolonial, yang ada hanyalah perilaku dehumanisasi terhadap kaum tani.

Perang Diponegoro (1825-1830) yang disebut The Djawa War atau Perang Jawa yang membuat Belanda hampir bangkrut, sangat didukung petani Jawa yang militan. Sekitar 200 ribu rakyat tani mati dalam perang besar ini. Menurut Sejara­wan Indonesia Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1984) menulis tentang Pembe­rontakan Petani Banten 1888, yang merupakan kebangkitan kaum tani melawan tirani kekuasaan. Meski sporadis dan bersifat lokal, perlawanan petani dilakukan lewat berbagai cara, seperti membakar perkebunan tebu, dan lain-lain.
Siapa yang menyangka bahwa petanilah yang membuat presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno untuk memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Dalam buku Sukarno, A Political Biography (1972) John D. Legge menuturkan dialog sukarno dengan seorang petani yaitu marhaen. Saat bung karno sedang berjalan-jalan keluar kota daerah Cigareleng, Bandung. Bung Karno bertanya tentang tanah, alat produksi, dan hasil panen. Apakah hasil panen ini cukup untuk keperluan kamu?” Marhaen menjawab, ”Hasilnya pas-pasan untuk hidup kami?”. Bung Karno melihat bahwa Marhaen hidup dalam kemiskinan, ketidakberdayaan dan keterbelakangan. Biang keladinya adalah imperalisme yang mengisap hajat hidup rakyat. Pada saat itu VOC sebagai persekutuan dagang Belanda sedemikian ber­kuasa atas seluruh kekayaan hasil bumi Indonesia.
Kemudian Aksi gerilya Jenderal Soedirman pada agresi Belanda II, 19 Desember 1948-10 Juli 1949, didukung pula oleh petani. Tentara kita melakukan gerilya. Pejuang dan tentara yang hidup di hutan, membaur dengan rakyat untuk melakukan perlawanan. Sekali lagi, petani di pedesaan menjadi mitra pejuang. Petani menyediakan pangan dan memberikan makanan, menjadi informan, kurir dan ikut berjuang bahu-membahu dengan tentara.
Ekspose realitas yang dijelaskan di atas menjadi refleksi bahwa petanilah yang menjadi inspirator bagi pemimpin pada waktu itu, yang terus bergerak mewujudkan kemerdekaan. Petani menjadi rekan dan berjuang bersama-sama untuk mengambil kembal hak-hak yang telah dirampas oleh kolonialisme. Sampai pada akhirnya bangsa Indonesia mencapai cita-cita mulia yaitu memproklamasikan kemerdekaannya. Bagaimana keadaan petani saat ini?
Profesi yang terlupakan
Sekarang profesi petani masih belum berubah, seperti marhaen, petani tetap miskin dan terjajah. Jika ditanya kepada generasi muda bangsa yaitu anak-anak dan pemuda yang sedang duduk di bangku sekolah tentang cita-citanya kelak, dapat di pastikan bahwa hampir seluruhnya tidak menjawab cita-cita mereka kelak akan menjadi seorang petani. Kebanyakan yang keluar dari mulut mereka adalah mereka ingin menjadi pilot, dokter, guru, direktur, dan sebagainya. Cita-cita menjadi petani sudah jarang tercetus dari generasi muda kontemporer. Serendah itukah profesi petani kini? Padahal untuk memenuhi kebutuhan hidup khalayak banyak orang kita sangat membutuhkan profesi petani sebagai penyuplai basic needs. Bila demikian seharusnya petani menjadi profesi yang amat mulia karena menjadi sebuah profesi yang memenuhi kebutuhan dasar setiap orang.
Pada saat ini sangat di sayangkan profesi petani menjadi pilihan terakhir dalam mata pencaharian, saat tidak ada pekerjaan yang diperoleh oleh pencari kerja, mata pencaharian petanilah alternatif terakhir. Realita ini muncul karena stigma yang tertanam dalam profesi petani sebagai profesi untuk orang miskin, dan orang yang telah tua.
Stigma tersebut semakin memburuk oleh pandangan yang tercipta dalam masyarakat itu sendiri, terdapat sebuah kasus nyata ketika terdapat seorang sarjana yang lulus kemudian kembali lagi ke desanya dan ia menjadi petani, ia mendapatkan celoteh dari warga rumahnya sendiri “buat apa tinggi-tinggi sekolah, ujung-ujungnya menjadi petani” dan Kasus selanjutnya yaitu seorang anak yang ingin menjadi petani ketika ditanya seorang guru, maka anak itu akan di olok-olok “ngapain sekolah kalo cita-citanya petani”. Hal tersebut menggambarkan sebuah pandangan masyarakat terhadap profesi petani yang masih dianggap tidak membutuhkan pengetahuan dalam bertani.
Rendahnya minat anak-anak dan pemuda bercita-cita menjadi petani dipengaruhi oleh stigma yang tertanam terhadap petani yang selalu hidup miskin dan jauh dari kata sejahtera. Petani di Indonesia tidak menggambarkan ekonomi yang baik dan profesi sebagai petani dianggap belum menjanjikan. selain itu, profesi petani selalu dikonotasikan sebagai suatu profesi yang tidak membutuhkan pendidikan. Rendahnya profesi petani semakin ditambah dengan ulah pemerintah dengan iklan “Bapaknya petani, anaknya bisa menjadi pilot”. Iklan tersebut sudah jelas-jelas mendiskriminasi profesi petani.
Sudah saatnya pemerintah merekonsiliasi profesi petani. Seharusnya pemerintah merancang usaha tani agar tidak terdiskriminasi secara pandangan yang teraktual dalam ekonomi. Petani saat ini sangat menyedihkan, jangan sampai kesedihan tersebut tertular ke anak-cucu bangsa Indonesia kelak. Bila profesi petani menjadi tulang punggung bangsa dan profesi yang mulia maka, bangsa ini akan mandiri memenuhi kebutuhan penghuninya sendiri, tidak lagi membutuhkan beras impor dan daging impor. Petani masih terjajah di tanahnya sendiri. Jangan sampai generasi muda menjadi generasi “Alzheimer” tentang profesi petani yang menjadi tulang punggung kehidupan dan inspirator kemerdekaan dan kemanusiaan.

0 comments:

Posting Komentar